top of page

Jual Beli dengan Uang Muka (Down Payment/DP)

  • Gambar penulis: haynumsyariah
    haynumsyariah
  • 8 Okt 2018
  • 6 menit membaca



Islam datang untuk menyelesaikan masalah manusia. Sumber hukum Al Qur’an dan As Sunah datang dalam bentuk Global dapat dirinci untuk menyelesaikan seluruh masalah manusia. Maka tidak ada satupun permasalahan manusia ini yang tidak bisa dikembalikan kepada sumber hukum tersebut.

Semakin kompleknya persoalan transaksi yang terjadi di masyarakat modern ini tentu memunculkan produk dan jenis yang banyak yang tentu terus berkembang. Salah satunya adalah system Jual Beli dengan memberikan uang muka atau “down payment (DP)”

Pengertian

Uang Muka/Panjar/Down Paiment (DP) dalam bahasa Arab adalah ‘Urbuun (العربون). Kata ini memiliki padanan kata (sinonim) dalam bahasa Arabnya yaitu, Urbaan (الأربان), ‘Urbaan (العربان) dan Urbuun (الأربون).

Secara bahasa artinya yang kata jadi transaksi dalam jual beli.

Bentuk jual beli ini adalah sebagai berikut: Sejumlah uang yang dibayarkan di muka oleh seorang pembeli barang kepada si penjual barang. Bila transaksi itu mereka lanjutkan, maka uang muka itu dimasukkan ke dalam harga pembayaran. Kalau tidak jadi, maka menjadi milik si penjual.

Atau seorang pembeli menyerahkan sejumlah uang dan menyatakan: Apabila saya ambil barang tersebut maka ini adalah bagian dari nilai harga dan bila tidak jadi saya ambil maka uang DP tersebut untukmu.

Atau seorang membeli barang dan menyerahkan kepada penjualnya satu dirham atau lebih dengan ketentuan apabila si pembeli mengambil barang tersebut, maka uang DP tersebut dihitung pembayaran dan bila gagal maka itu milik penjual.

Di masayarakat saat ini, pembayaran seperti tersebut di atas adalah sistem pembelian dengan uang muka atau down payment (DP)

Hukum Jual Beli dengan DP

Dalam permasalahan Jual Beli dengan DP ini para ulama berbeda pendapat. Ada dua pendapat di kalangan para Fuqaha:

Pendapat Pertama: Jual beli dengan uang muka (DP) ini tidak sah.

Inilah pendapat mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi’iyyah.

Al Khothobi menyatakan: Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan jual beli ini, Malik, Syafi’I menyatakan ketidaksahannya, karena adanya hadits Amru bin Syuaib dan karena terdapat syarat fasad dan Al Ghoror. Juga hal ini masuk dalam kategori memakan harta orang lain dengan bathil. Demikian juga Ash-habul Ra’I (madzhab Abu Hanifah ) menilainya tidak sah.


Ibnu Qudamah menyatakan: ini pendapat imam Maalik, Al Syafi’I dan Ash-hab Al Ra’yu dan diriwayatkan juga dari Ibnu Abas dan Al Hasan Al Bashri.

Dasar argumentasi mereka di antaranya:

a. Hadits Amru bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ia berkata:

نَهَىرَسُولُاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَعَنْبَيْعِالْعُرْبَانِ

قَالَمَالِكٌوَذَلِكَفِيمَانَرَىوَاللَّهُأَعْلَمُأَنْيَشْتَرِيَالرَّجُلُالْعَبْدَأَوْيَتَكَارَىالدَّابَّةَثُمَّيَقُولُأُعْطِيكَدِينَارًاعَلَىأَنِّيإِنْتَرَكْتُالسِّلْعَةَأَوْالْكِرَاءَفَمَاأَعْطَيْتُكَلَكَ

Rasulullah melarang jual beli dengan sistem uang muka. Imam Maalik menyatakan: dan ini adalah yang kita lihat –wallahu A’lam- seorang membeli budak atau menyewa hewan kendaraan kemudian menyatakan: Saya berikan kepadamu satu dinar dengan ketentuan apabila saya gagal beli atau gagal menyewanya maka uang yang telah saya berikan itu menjadi milikmu.


b. Jenis jual beli semacam itu termasuk memakan harta orang lain dengan cara batil, karena disyaratkan bagi si penjual tanpa ada kompensasinya. Memakan harta orang lain haram sebagaimana firman Allah:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An Nisaa’ (4):29)


c. Karena dalam jual beli ada dua syarat itu batil: di sini terjadi dua syarat yaitu, syarat memberikan uang panjar dan syarat mengembalikan barang transaksi dengan perkiraan salah satu pihak tidak ridha.

Jawaban: Apabila realitanya demikian maka dibolehkan baginya (penjual) untuk memiliki uang muka tersebut untuk dirinya dan tidak mengembalikannya kepada pembeli –menurut pendapat yang rojih- apabila keduanya telah sepakat untuk itu.

Ditanda tangani oleh Syeikh Abdulaziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi dan Abdullah bin Ghadayaan.

2. Fatwa no. 19637 menjawab pertanyaan:

Al ‘Urbuun sudah dikenal dengan uang muka sedikit yang diserahkan pada waktu membeli untuk tanda jadi hingga menjadikan barang dagangan tersebut tergantung. Apa hokum jual beli tersebut? Banyak dari para penjual yang mengambil harta Urbuun (panjar) ketika gagal pelunasan pembayaran, bagaimana hukumnya?

Jawaban: Jual beli dengan DP (‘Urbuun) diperbolehkan. Jual beli ini dengan membawa seorang pembeli kepada penjual atau agennya (wakilnya) sejumlah uang yang lebih sedikit dari nilai harga barang tersebut setelah selesai transaksi, untuk jaminan barang. Ini dilakukan agar selain pembeli tersebut tidak mengambilnya dengan ketentuan apabila pembeli tersebut mengambilnya maka uang muka tersebut terhitung dalam bagian pembayaran dan bila tidak mengambilnya maka penjual berhak mengambil uang muka tersebut dan memilikinya. Jual beli system panjar (‘Urbuun) ini sah, baik telah menentukan batas waktu pembayaran sisanya atau belum menentukannya dan penjual memiliki hak secara syar’I menagih pembeli untuk melunasi pembayaran setelah sempurna jual beli dan terjadi serah terima barang. Kebolehan jual beli ‘Urbuun ini ditunjukkan oleh perbuatan Umar bin Al Khothob. Imam Ahmad menyatakan tentang jual beli panjar ini: boleh. dan dari Ibnu Umar z beliapun membolehkannya. Sa’id bin Al Musayyib dan Muhammad bin Sirin menyatakan: diperbolehkan bila ia tidak ingin untuk mengembalikan barangnya dan mengembalikan bersamanya sejumlah harta.

Sedangkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi yang berbunyi:

نَهَىرَسُولُاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَعَنْبَيْعِالْعُرْبَانِ

“Rasulullah melarang jual beli dengan sistem uang muka”. Adalah hadits yang lemah (Dhoif), imam Ahmad dan selainnya telah mendhoifkannya sehingga tidak bisa dijadikan sandaran.

Ditanda tangani oleh Syeikh Abdulaziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi dan Abdullah bin Ghadayaan.

Majlis Fikih Islam, pada seminar ke delapan telah selesai berkesimpulan dibolehkannya jual beli panjar, dan berikut ini ketetapan-ketetapan yang mereka buat:

Pertama: Yang dimaksud dengan jual beli sistem DP adalah menjual barang, lalu si pembeli memberi sejumlah uang kepada si penjual dengan syarat bila ia jadi mengambil barang itu, maka uang muka tersebut masuk dalam harga yang harus dibayar. Namun kalau ia tidak jadi membelinya, maka sejumlah uang itu menjadi milik penjual. Transaksi ini selain berlaku untuk jual beli juga berlaku untuk sewa menyewa, karena menyewa berarti membeli fasilitas. Di antara jual beli dikecualikan jual beli yang memiliki syarat harus ada serah terima pembayaran atau barang transaksi di lokasi akad (jual beli As-Salm) atau serah terima keduanya (barter komoditi riba fadhal dan Money Changer). Dan dalam transaksi jual beli murabahah tidak berlaku bagi orang yang mengharuskan pembayaran pada waktu yang dijanjikan, namun hanya pada fase penjualan kedua yang dijanjikan.

Kedua: Jual beli sistem panjar dibolehkan bila dibatasi waktu menunggunya secara pasti, dan panjar itu dimasukkan sebagai bagian pembayaran, bila sudah dibayar lunas. Dan menjadi milik penjual bila si pembeli tidak jadi melakukan transaksi pembelian.

Namun perlu diingat bila penjual mengembalikan uang muka (DP) tersebut kepada pembeli ketika gagal menyempurnakan jual belinya, itu lebih baik dan lebih besar pahalanya disisi Allah sebagaimana disabdakan Rasulullah:

مَنْأَقَالَمُسْلِمًاأَقَالَهُاللَّهُعَثْرَتَهُ

Siapa yang berbuat iqaalah dalam jual belinya kepada seorang muslim maka Allah akan bebaskan ia dari kesalahan dan dosanya.

Jawaban: Apabila realitanya demikian maka dibolehkan baginya (penjual) untuk memiliki uang muka tersebut untuk dirinya dan tidak mengembalikannya kepada pembeli –menurut pendapat yang rojih- apabila keduanya telah sepakat untuk itu.

Ditanda tangani oleh Syeikh Abdulaziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi dan Abdullah bin Ghadayaan.

2. Fatwa no. 19637 menjawab pertanyaan:

Al ‘Urbuun sudah dikenal dengan uang muka sedikit yang diserahkan pada waktu membeli untuk tanda jadi hingga menjadikan barang dagangan tersebut tergantung. Apa hokum jual beli tersebut? Banyak dari para penjual yang mengambil harta Urbuun (panjar) ketika gagal pelunasan pembayaran, bagaimana hukumnya?

Jawaban: Jual beli dengan DP (‘Urbuun) diperbolehkan. Jual beli ini dengan membawa seorang pembeli kepada penjual atau agennya (wakilnya) sejumlah uang yang lebih sedikit dari nilai harga barang tersebut setelah selesai transaksi, untuk jaminan barang. Ini dilakukan agar selain pembeli tersebut tidak mengambilnya dengan ketentuan apabila pembeli tersebut mengambilnya maka uang muka tersebut terhitung dalam bagian pembayaran dan bila tidak mengambilnya maka penjual berhak mengambil uang muka tersebut dan memilikinya. Jual beli system panjar (‘Urbuun) ini sah, baik telah menentukan batas waktu pembayaran sisanya atau belum menentukannya dan penjual memiliki hak secara syar’I menagih pembeli untuk melunasi pembayaran setelah sempurna jual beli dan terjadi serah terima barang. Kebolehan jual beli ‘Urbuun ini ditunjukkan oleh perbuatan Umar bin Al Khothob. Imam Ahmad menyatakan tentang jual beli panjar ini: boleh. dan dari Ibnu Umar z beliapun membolehkannya. Sa’id bin Al Musayyib dan Muhammad bin Sirin menyatakan: diperbolehkan bila ia tidak ingin untuk mengembalikan barangnya dan mengembalikan bersamanya sejumlah harta.

Sedangkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi yang berbunyi:

نَهَىرَسُولُاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَعَنْبَيْعِالْعُرْبَانِ

“Rasulullah melarang jual beli dengan sistem uang muka”. Adalah hadits yang lemah (Dhoif), imam Ahmad dan selainnya telah mendhoifkannya sehingga tidak bisa dijadikan sandaran.

Ditanda tangani oleh Syeikh Abdulaziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi dan Abdullah bin Ghadayaan.

Majlis Fikih Islam, pada seminar ke delapan telah selesai berkesimpulan dibolehkannya jual beli panjar, dan berikut ini ketetapan-ketetapan yang mereka buat:

Pertama: Yang dimaksud dengan jual beli sistem DP adalah menjual barang, lalu si pembeli memberi sejumlah uang kepada si penjual dengan syarat bila ia jadi mengambil barang itu, maka uang muka tersebut masuk dalam harga yang harus dibayar. Namun kalau ia tidak jadi membelinya, maka sejumlah uang itu menjadi milik penjual. Transaksi ini selain berlaku untuk jual beli juga berlaku untuk sewa menyewa, karena menyewa berarti membeli fasilitas. Di antara jual beli dikecualikan jual beli yang memiliki syarat harus ada serah terima pembayaran atau barang transaksi di lokasi akad (jual beli As-Salm) atau serah terima keduanya (barter komoditi riba fadhal dan Money Changer). Dan dalam transaksi jual beli murabahah tidak berlaku bagi orang yang mengharuskan pembayaran pada waktu yang dijanjikan, namun hanya pada fase penjualan kedua yang dijanjikan.

Kedua: Jual beli sistem panjar dibolehkan bila dibatasi waktu menunggunya secara pasti, dan panjar itu dimasukkan sebagai bagian pembayaran, bila sudah dibayar lunas. Dan menjadi milik penjual bila si pembeli tidak jadi melakukan transaksi pembelian.

Namun perlu diingat bila penjual mengembalikan uang muka (DP) tersebut kepada pembeli ketika gagal menyempurnakan jual belinya, itu lebih baik dan lebih besar pahalanya disisi Allah sebagaimana disabdakan Rasulullah:

مَنْأَقَالَمُسْلِمًاأَقَالَهُاللَّهُعَثْرَتَهُ

Siapa yang berbuat iqaalah dalam jual belinya kepada seorang muslim maka Allah akan bebaskan ia dari kesalahan dan dosanya.

 
 
 

Comentários


Post: Blog2_Post

+6281230962422

©2018 by Zumroh Syariah. Proudly created with Wix.com

bottom of page