top of page

BAI’ ISTISHNA’

  • Gambar penulis: haynumsyariah
    haynumsyariah
  • 8 Okt 2018
  • 10 menit membaca



Pengertian Bai'

ﻫﻮﻟﻐﺔ : ﻣﻘﺎﺑﻠﺔﺷﻲءﺑﺸﻲء،وﺷﺮﻋﺎﻣﻘﺎﺑﻠﺔﻣﺎل ﲟﺎلﻋﻠﻰوﺟﻪ ﳐﺼﻮص

Artinya: Al bai' menurut istilah bahasa: menukar sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Sedangkan menurut istilah syara' ialah menukar sejumlah harta dengan harta (yang lain) dengan cara yang khusus. (Zainudin Bib Abdul Aziz al Malibari al Fanani, Fath- al Muin, Terj. K.H. Moch. Anwar, Bandung: Sinar Baru Algasindo, 1994, hlm. 763)

Jual beli merupakan aktifitas yang dihalalkan oleh Allah, setiap muslim diperkenankan untuk melakukan aktifitas jual beli, hal ini merupakan sunatullah yang telah berjalan turun-temurun. Jual beli memiliki bentuk yang bermacam-macam, jual beli biasanya dilihat dari cara pembayaran, akad, penyerahan barang dan barang (obyek) yang diperjual belikan.

Islam sangat memperhatikan unsur-unsur ini dalam transaksi jual beli. Islam memiliki beberapa kaidah dalam jual beli, beberapa hal semacam kedzaliman, kecurangan, ketidakjelasan barang yang diperjualbelikan, diharamkan dalam jual beli. Sebaliknya keadilan menyempurnakan takaran dan tidak menutupi cacat yang bisa mengurangi keuntungan harus dijaga.

Pengertian Istishna’

Dalam kamus bahasa arab Istishna’ berarti minta membuat (sesuatu) (Syarifuddin Anwar, Kamus Al-Misbah:Arab-Indonesia, (Surabaya:Bina Iman), hlm.258.)

Istishna’ adalah akad yang mengandung tuntutan agar shani’ membuatkan sesuatu pesanan dengan ciri-ciri khusus dan harga tertentu. (Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi hukum islam, (Jakarta:Ichtiar baru van hoeve, 1996), cet.ke-1, hlm.778.)

Kata istishna’ berasal dari kata shana’a yang berarti membuat. Yang kemudian ditambah huruf alief, sin dan ta’ menjadi istishna’a yang berarti meminta dibuatkan sesuatu. Transaksi jual beli istishna’ merupakan kontrak perjanjian jual beli antara mustashni (pembeli) dan shani (pembuat barang) atau penjual dalam kontrak ini shani menerima pesanan dari mustashni, shani kemudian berusaha sendiri ataupun melalui orang lain untuk membuat barang (manshu’) menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya pada mustashni, kedua belah pihak sepakat atas harga yang telah disepakati serta sistem pembayaran. Obyek diperjanjikan berupa manufacture order atau kontrak produksi. (Pemikiran Musthofa Ahmad Az Zarqo Tentang Jual Beli Istishna’. Dadang Setiana. 2008 hlm. 8)

Menurut kompilasi hukum ekonomi syariah, Istishna’ adalah jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan dan pihak penjual. Transaksi bai’ al-istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran yang bisa dilakukan di muka, melalui cicilan atau ditangguhkan. Transaksi istishna’ ini hukumnya jawaz. jawaz berasal dari kata Jaza yang artinya boleh, diperkenakan. kata jawaz sendiri artinya kebolehan, keizinan. (Isriani Hardini dan Muh.H.Giharto, Kamus Perbankan Syariah, (Bandung:Marja, 2007), hlm.46)

Jadi istishna’ adalah jual beli barang dimana pembeli memesan barang dengan spesifikasi yang telah ditentukan sebelumya dengan pembayaran yang dilakukan sebelum barang tersebut selesai dibuat, baik secara tunai maupun angsuran dan penyerahan barangnya dilakukan pada saat yang disepakati dikemudian hari.

Sedangkan Akad Istishna’ adalah akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak ke-2, agar pihak ke-2 membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga yang disepakati antara keduanya. (Badai’i As shanaai’i oleh Al Kasaani 5/2 & Al Bahrur Raa’iq oleh Ibnu Nujaim 6/185)

Pendapat Para Fuqaha' Tentang Bai’ Istishna’

Ulama’ fiqih sejak dahulu telah berbeda pendapat dalam permasalahan ini ke dalam dua pendapat:

Pendapat pertama:

Istishna’ ialah akad yang tidak benar alias batil dalam syari’at islam. Pendapat ini dianut oleh para pengikut mazhab Hambali dan Zufar salah seorang tokoh mazhab Hanafi. (Al Furu’ oleh Ibnu Muflih 4/18, Al Inshaf oleh Al Murdawi 4/300, Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/114 & Al Bahrur Raa’iq oleh Ibnu Nujaim 6/185)

Ulama’ mazhab Hambali melarang akad ini berdalilkan dengan Hadits Hakim bin Hizam radhiallahu ‘anhu:

لاَتَبِعْمَالَيْسَعِنْدَكَ

“Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, An Nasa’i, At Tirmizy, Ibnu Majah, As Syafi’i, Ibnul Jarud, Ad Daraquthny, Al Baihaqy 8/519 dan Ibnu Hazem)

Pada akad istishna’ pihak ke-2 yaitu produsen telah menjual barang yang belum ia miliki kepada pihak pertama, tanpa mengindahkan persyaratan akad salam. Dengan demikian, akad ini tercakup oleh larangan dalam hadits di atas. (Al Furu’ oleh Ibnu Muflih 14/18 & Al Bahrur Raa’iq oleh Ibnu Nujaim 6/185.)

Sebagaimana mereka juga beralasan: Hakikat istishna’ ialah menyewa jasa produsen agar ia mengolah barang miliknya dengan upah yang disepakati. (Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/114)

Pendapat kedua:

Istishna’ adalah salah satu bentuk akad salam, dengan demikian akad ini boleh dijalankan bila memenuhi berbagai persyaratan akad salam. Dan bila tidak memenuhi persyaratan salam, maka tidak dibenarkan alias batil. Ini adalah pendapat yang dianut dalam mazhab Maliki & Syafi’i. (Mawahibul Jalil oleh Al Hatthab 4/514, Al Muqaddmat Al Mumahhidaat 2/193, Al Muhazzab oleh As Syairozi 1/297, Raudhatut Thalibin oleh An Nawawi 4/26.)

Ulama’ yang berfatwa dengan pendapat kedua ini berdalilkan dengan dalil-dalil yang berkaitan dengan akad salam.

Bila demikian adanya, berdasarkan pendapat ke dua ini, maka dapat disimpulkan bahwa bila pihak 1 (pemesan) tidak mendatangkan bahan baku, maka berbagai persyaratan salam harus dipenuhi.

Akan tetapi bila pihak 1 (pemesan) mendatangkan bahan baku, maka yang terjadi adalah jual/sewa jasa dan bukan salam, maka berbagai persyaratan pada akad sewa jasa harus dipenuhi, diantaranya yang berkaitan dengan tempo pengkerjaan, dan jumlah upah.

Pendapat ketiga:

Istishna’ adalah akad yang benar dan halal, ini adalah pendapat kebanyakan ulama’ penganut mazhab Hanafi dan kebanyakan ulama’ ahli fiqih zaman sekarang. (Al Mabsuth oleh As Sarakhsi 12/138, Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/114, & Al Bahrur Raa’iq oleh Ibnu Nujaim 6/185, Suq Al Auraaq Al Maaliyah Baina As Sayari’ah Al Islamiyyah wa An Nuzhum Al Wad’iyyah oleh Dr Khursyid Asyraf Iqbal 448)

Dalil-dalil Terkait Pendapat Ketiga:

Dalil yang digunakan Ulama’ mazhab Hanafi untuk menguatkan pendapatnya adalah sebagai berikut:

Dalil pertama:

Keumuman dalil yang menghalalkan jual-beli, diantaranya firman Allah Ta’ala:

وَأَحَلَّاللَّهُالْبَيْعَوَحَرَّمَالرِّبا

“Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (Qs. Al Baqarah: 275)

Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama’ menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat lagi shahih alias valid.

Dalil kedua:

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memesan agar dibuatkan cincin dari perak.

عَنْأَنَسٍرضياللهعنهأَنَّنَبِىَّاللَّهِصلىاللهعليهوسلمكَانَأَرَادَأَنْيَكْتُبَإِلَىالْعَجَمِفَقِيلَلَهُإِنَّالْعَجَمَلاَيَقْبَلُونَإِلاَّكِتَابًاعَلَيْهِخَاتِمٌ. فَاصْطَنَعَخَاتَمًامِنْفِضَّةٍ. قَالَكَأَنِّىأَنْظُرُإِلَىبَيَاضِهِفِىيَدِهِ. رواهمسلم

Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu ‘anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non arab, lalu dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel dari bahan perak. Anas mengisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau.” (Riwayat Muslim)

Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna’ adalah akad yang dibolehkan. (Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/115)

Dalil ketiga:

Sebagian ulama’ menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de facto telah bersepakat alias merajut konsensus (ijma’) bahwa akad istishna’ adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya. (Al Mabsuth oleh As Sarakhsi 12/138 & Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam 7/115)

Dalil keempat:

Para ulama’ di sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih yang ada di tengah umat Islam telah menggariskan kaedah dalam segala hal selain ibadah:

الأصلفيالأشياءالإباحة،حتىيدلالدليلعلىالتحريم

“Hukum asal dalam perbuatan (segala hal) adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya.”

Dalil kelima:

Logika; banyak dari masyarakat dalam banyak kesempatan membutuhkan kepada suatu barang yang spesial, dan sesuai dengan bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang dengan ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu untuk memesannya dari para produsen. Bila akad pemesanan semacam ini tidak dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak mengganggu kelangsungan hidup masyarakat. (Badai’i As shanaai’i oleh Al Kasaani 5/3)

Alasan ini selaras dengan salah satu prinsip dasar agama Islam, yaitu taisir (memudahkan):

إِنَّالدِّينَيُسْرٌ

“Sesungguhnya agama itu mudah.” (Riwayat Bukhari)

Dalil keenam:

Akad istishna’ tidak bertentangan dengan hokum syar’I dan dapat mendatangkan banyak kemaslahatan dan keuntungan, dan tidak mengandung unsur riba, atau ketidak jelasan/spekulasi tinggi (gharar) dan tidak merugikan kedua belah pihak. Bahkan sebaliknya, kedua belah pihak merasa mendapatkan keuntungan. Dengan demikian setiap hal yang demikian ini adanya, sudah sepantasnya untuk diizinkan dan tidak dilarang.

Berdasarkan pemaparan singkat di atas, dapat anda saksikan bahwa pendapat ketiga lebih kuat, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akad istishna’ adalah akad yang dibenarkan dalam syari’at islam.

Hakekat Akad Istishna’ Menurut Ulama’ Mazhab Hanafi

Ulama’ mazhab Hanafi berbeda pendapat tentang hakekat akad istishna’, sebagian dari mereka menganggapnya sebagai akad jual beli barang yang disertai dengan syarat pengolahan barang yang dibeli, atau gabungan dari akad salam dan jual-beli jasa (ijarah). (Al Mabsuth oleh As Sarakhsi 12/139, & 15/84-85 & Badai’i As Shanaai’i oleh Al Kasaani 5/3)

Sebagian lainnya menganggapnya sebagai akad ijarah (jual jasa) pada awal akad istishna’ dan setelah produsen selesai dari pekerjaannya memproduksi barang yang di pesan, akadnya berubah menjadi akad jual beli. (Fathul Qadir Ibnul Humam 7/116)

Makapendapat pertamalah yang lebih selaras dengan fakta akad istishna’. Karena pihak 1 yaitu pemesan dan pihak 2 yaitu produsen hanya melakukan sekali akad. Dan pada akad itu, pemesan menyatakan kesiapannya membeli barang-barang yang dimiliki oleh produsen, dengan syarat sesuai kriteria yang disepakati yang diinginkan konsumen.

Persyaratan Akad Istishna’

Dengan memahami hakekat akad istishna’, kita dapat pahami bahwa akad istishna’ yang dibolehkan oleh Ulama’ mazhab Hanafi memiliki beberapa persyaratan, sebagaimana yang berlaku pada akad salam diantaranya:

1. Penyebutan & penyepakatan kriteria barang pada saat akad dilangsungkan.

Persyaratan ini guna mencegah terjadinya persengketaan antara kedua belah pihak pada saat jatuh tempo penyerahan barang yang dipesan.

2. Tidak dibatasi waktu penyerahan barang.

Bila ditentukan waktu penyerahan barang, maka akadnya secara otomastis berubah menjadi akad salam, sehingga berlaku padanya seluruh hukum-hukum akad salam, demikianlah pendapat Imam Abu Hanifah. Akan tetapi kedua muridnya yaitu Abu Yusuf, dan Muhammad bin Al Hasan menyelisihinya, mereka berdua berpendapat bahwa tidak mengapa menentukan waktu penyerahan, dan tidak menyebabkannya berubah menjadi akad salam, karena demikianlah tradisi masyarakat sejak dahulu kala dalam akad istishna’.

Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarang penentuan waktu penyerahan barang pesanan, karena tradisi masyarakat ini tidak menyelisihi dalil atau hukum syari’at. (Al Mabsuth oleh As Sarakhsi 12/140 & Badai’i As Shanaai’i oleh Al Kasaani 5/3)

3. Barang yang dipesan adalah barang yang telah biasa dipesan dengan akad istishna’. Persyaratan ini sebagai imbas langsung dari dasar dibolehkannya akad istishna’. Telah dijelaskan di atas bahwa akad istishna’ dibolehkan berdasarkan tradisi umat Islam yang telah berlangsung sejak dahulu kala. Dengan demikian, akad ini hanya berlaku dan dibenarkan pada barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan dengan skema akad istishna’. Adapun selainnya, maka dikembalikan kepada hukum asal (Badai’i As Shanaai’i oleh Al Kasaani 5/3, Fathul Qadir oleh Ibnul Humamm 7/115 & Al Bahru Ar Raa’iq oleh Ibnu Nujaim 6//185)

Akan tetapi, dengan merujuk dalil-dalil dibolehkannya akad istishna’ yang telah disebutkan, maka dengan sendirinya persyaratan ini tidak kuat. Betapa tidak, karena akad istishna’ bukan hanya berdasarkan tradisi umat islam, akan tetapi juga berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Bila demikian adanya, maka tidak ada alasan untuk membatasi akad istishna’ pada barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan dengan skema istishna’ saja.

Ketentuan Tentang Pembayaran:

1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya baik berupa uang, barang, ataupun manfaat.

2. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.

3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.

Ketentuan Tentang Barang:

1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai utang.

2. Harus dapat dijelaskan spesifikainya.

3. Penyerahannya dilakukan kemudian.

4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.

5. Pembeli (mustashni) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya

6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang jenis sesuai kesepakatan.

7. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.

Ketentuan lain tentang jual beli istishna’

1. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat.

2. Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan diatas berlaku pula pada jual beli istishna’.

3. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. (DSN MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, Cet Ke 4, Ciputat: Gaung Persada Pers, 2006, hlm. 35)

Konsekuensi Akad Istishna’

Imam Abu Hanifah dan kebanyakan pengikutnya menggolongkan akad istishna’ ke dalam jenis akad yang tidak mengikat. Dengan demikian, sebelum barang diserahkan keduanya berhak untuk mengundurkan diri akad istishna’; produsen berhak menjual barang hasil produksinya kepada orang lain, sebagaimana pemesan berhak untuk membatalkan pesanannya.

Sedangkan Abu Yusuf murid Abu Hanifah, memilih untuk berbeda pendapat dengan gurunya. Beliau menganggap akad istishna’ sebagai salah satu akad yang mengikat. Dengan demikian, bila telah jatuh tempo penyerahan barang, dan produsen berhasil membuatkan barang sesuai dengna pesanan, maka tidak ada hak bagi pemesan untuk mengundurkan diri dari pesanannya. Sebagaimana produsen tidak berhak untuk menjual hasil produksinya kepada orang lain. (Fathul Qadir oleh Ibnul Humamm 7/116-117 & Al Bahru Ar Raa’iq oleh Ibnu Nujaim 6//186)

Maka pendapat Abu Yusuf inilah yang lebih kuat, karena kedua belah pihak telah terikat janji dengan saudaranya. Bila demikian, maka keduanya berkewajiban untuk memenuhi perjanjiannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

المُسْلِمُوْنَعَلَىشُرُوطِهِمْ. رواهأبوداودوالحاكموالبيهقيوصححهالألباني

“Kaum muslimin senantiasa memenuhi persyaratan mereka.” (Riwayat Abu Dawud, Al Hakim, Al Baihaqy dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albany)

Kesimpulan

Dari pemaparan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa akad istishna’ ialah akad tersendiri, dan tidak sama dengan akad salam. Dengan demikian, hukum keduanyapun berbeda. Dan para ulama’ yang membahas kedua akad ini menyebutkan beberapa perbedaan, akan tetapi perbedaan yang paling menonjol antara keduanya terletak pada dua hal berikut:

1. Obyek akad keduanya; pada akad salam yang menjadi objek adalah barang semata, tanpa ada proses pengolahan. Sedangkan objek akad istishna’ ialah barang dan jasa pengolahan barang secara bersamaan.

2. Waktu pembayaran, pada akad salam, para ulama’ telah sepakat bahwa pembayaran dilakukan seutuhnya di muka alias tunai. Sedangkan pada akad istishna’, pembayaran dapat dilakukan di muka dan juga boleh dilakukan dengan pembayaran terhutang.

يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواإِذَاتَدَايَنْتُمْبِدَيْنٍإِلَىأَجَلٍمُسَمّىًفَاكْتُبُوهُ.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Qs. Al Baqarah: 282)

Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek hutang-piutang, sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk hutang, maka dengan keumuman ayat ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan. (5)

2.2.2. Hadits riwayat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

اشترىرسولاللهصلىاللهعليهوسلممنيهوديٍّطعاماًنسيئةًورهنهدرعَه. متفقعليه

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dengan pembayaran dihutang, dan sebagai jaminannya, beliau menggadaikan perisainya. Dengan demikian hadits ini menjadi dasar dibolehkannya jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk jual-beli dengan pembayaran dihutang.

2.2.3. Keumuman hadits salam (jual-beli dengan pemesanan).

Diantara bentuk perniagaan yang diijinkan syari’at adalah dengan cara salam, yaitu memesan barang dengan pembayaran di muka (kontan / 100%). Transaksi ini adalah kebalikan dari transaksi kredit. Ketika menjelaskan akan hukum transaksi ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensyaratkan agar harga barang tidak berubah dari pembelian dengan penyerahan barang langsung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya bersabda:

منأسلففليسلففيكيلمعلومووزنمعلومإلىأجلمعلوم. متفقعليه

“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dalam takaran yang jelas dan timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (Muttafaqun ‘Alaih)

Pemahaman dari empat dalil di atas dan juga lainnya selaras dengan kaedah dalam ilmu fiqih, yang menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal. Berdasarkan kaedah ini, para ulama’ menyatakan bahwa: selama tidak ada dalil yang shahih nan tegas yang mengharamkan suatu bentuk perniagaan, maka perniagaan tersebut boleh atau halal untuk dilakukan.

Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

منبَاعَبَيْعَتَيْنِفيبَيْعَةٍفَلَهُأَوْكَسُهُمَاأوالرِّبَا. رواهالترمذيوغيره

“Barang siapa yang menjual dua harga dalam satu penjualan maka ia hanya dibenarkan mengambil harga yang paling kecil, kalau tidak, maka ia telah terjatuh ke dalam riba.” (Riwayat At Tirmizy dan lain-lain).

Maka penafsirannya yang lebih tepat ialah apa yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dan lainnya ( Sebagaimana beilau jelaskan dalam kitabnya I’lamul Muwaqqiin dan Hasyi’ah ‘ala Syarah Sunan Abi Dawud) , bahwa makna hadits ini adalah larangan dari berjual beli dengan cara ‘innah. Jual beli ‘Innah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang, kemudian seusai barang diserahkan, segera penjual membeli kembali barang tersebut dengan pembayaran kontan dan harga yang lebih murah.

2.2.4. Hadits Bariroh :

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha berkata : “Sesungguhnya Bariroh datang kepadanya minta tolong untuk pelunasan tebusannya, sedangkan dia belum membayarnya sama sekali, Maka Aisyah berkata padanya : “Pulanglah ke keluargamu, kalau mereka ingin agar saya bayar tebusanmu namun wala’mu menjadi milikku maka akan saya lakukan.” Maka Bariroh menyebutkan hal ini pada mereka, namun mereka enggan melakukannya, malah mereka berkata : “Kalau Aisyah berkehendak untuk membebaskanmu dengan hanya mengharapkan pahala saja, maka bisa saja dia lakukan, namun wala’mu tetap pada kami.” Maka Aisyah pun menyebutkan hal ini pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun bersabda : “Belilah dia dan merdekakanlah karena wala’ itu kepunyaan yang memerdekakan.”Dalam sebuah riwayat yang lain : “Bariroh berkata : “Saya menebus diriku dengan membayar 9 uqiyah, setiap tahun saya membayar satu uqiyah.” (HR. Bukhori 2169, Muslim 1504)

Segi pengambilan dalil : Dalam hadist ini jelas bahwa Bariroh membayarnya dengan mengkredit karena dia membayar sembilan uqiyah yang dibayar selama sembilan tahun, satu tahunnya sebanyak satu uqiyah.

 
 
 

Comments


Post: Blog2_Post

+6281230962422

©2018 by Zumroh Syariah. Proudly created with Wix.com

bottom of page