BAI’US SALAM (Jual Beli Salam)
- haynumsyariah
- 8 Okt 2018
- 8 menit membaca

1. Definisi
Kata salam berasal dari kata at-taslîm (التَّسْلِيْم). Kata ini semakna dengan as-salaf (السَّلَف) yang bermakna memberikan sesuatu dengan mengharapkan hasil dikemudian hari. Pengertian ini terkandung dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
كُلُواوَاشْرَبُواهَنِيئًابِمَاأَسْلَفْتُمْفِيالْأَيَّامِالْخَالِيَةِ
(kepada mereka dikatakan): “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu”.(al-Hâqqah (69):24)
Di kebanyakan hadits nabawi, istilah yang lebih banyak digunakan adalah salaf. Namun dalam kitab fiqih, lebih sering digunakan salam.
1.1. Istilah Bahasa
Secara bahasa, salam (سلم) adalah al-i'tha' (الإعطاء) dan at-taslif (التسليف). Keduanya bermakna pemberian.
Ungkapan aslama ats-tsauba lil al-khayyath bermakna : dia telah menyerahkan baju kepada penjahit.
1.2. Istilah Syar’i
Sedangkan dalam istilah syar’i, akad salam sering didefinisikan oleh para fuqaha secara umumnya menjadi : (بيعموصوففيالذمةببدليعطىعاجلا). Jual-beli barang yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan dengan imbalan (pembayaran) yang dilakukan saat itu juga.
Dengan bahasa yang mudah, akad salam itu pada hakikatnya adalah jual-beli dengan hutang. Tapi bedanya, yang dihutang bukan uang pembayarannya, melainkan barangnya. Sedangkan uang pembayarannya justru diserahkan tunai.
Jadi akad salam ini kebalikan dari kredit. Kalau jual-beli kredit, barangnya diserahkan terlebih dahulu dan uang pembayarannya jadi hutang. Sedangkan akad salaf, uangnya diserahkan terlebih dahulu sedangkan barangnya belum diserahkan dan menjadi hutang.
2. Pendapat Para Fuqaha'
Ada beberapa pendapat tentang Jual Beli Salam menurut para ulama mazhab sesuai dengan syarat yang mereka ajukan. Setidaknya ada tiga pendapat dalam hal ini.
Pendapat pertama adalah pendapat yang menetapkan bahwa salam itu merupakan jual beli yang uangnya dibayarkan sekarang sedangkan barangnya diserahkan kemudian. Pendapat kedua, hanya mensyaratkan penyerahan uangnya yang harus saat akad, adapun barangnya boleh langsung diserahkan ataupun bisa juga diserahkan kemudian. Pendapat ketiga, tidak mensyaratkan uangnya diserahkan sekarang, demikian juga dengan barangnya juga tidak diserahkan sekarang.
2.1. Pendapat Pertama
Sudah disebutkan bahwa menurut pendapat pertama, akad salam merupakan jual beli yang uangnya dibayarkan sekarang sedangkan barangnya diserahkan kemudian.
Mazhab Hanafi dan Hambali yang diwakili oleh Ibnu 'Abidin menyebutkan bahwa salam adalah (شراءآجلبعآجل), membeli sesuatu yang diberikan kemudian dengan pembayaran sekarang.
Maksudnya, salaf adalah membeli sesuatu yang diserahkannya bukan saat akad dilangsungkan tetapi diserahkan kemudian. Ini menjadi syarat dari akad salam. Namun mereka menetapkan bahwa pembayarannya harus dilakukan saat itu juga, yakni saat akad dilangsungkan.
Hal senada dituliskan dalam kitab Kasysyaf Al-Qina' (عقدموصوففيالذمةمؤجلبثمنمقبوضفيمجلسالعقد), maknanya adalah akad atas pembelian sesuatu yang hanya disebutkan sifatnya dan menjadi tanggungan di kemudian hari dengan pembayaran yang maqbudh, yakni dilakukan saat itu juga dalam majelis akad.
2.2. Pendapat Kedua
Adapun mazhab Asy-Syafi'i, tidak mensyaratkan penyerahan sesuatu yang diperjual-belikan itu di kemudian hari atau saat itu juga. Yang lebih penting adalah -menurut mereka, penyerahan uang pembayarannya dilakukan saat akad. Pendapat kedua ini hanya mensyaratkan penyerahan uangnya yang harus saat akad, adapun barangnya boleh langsung diserahkan ataupun bisa juga diserahkan kemudian.
Di dalam kitab Raudhatut-Thalibin, Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan bahwa akad salam itu adalah : (عقدعلىموصوففيالذمةببدليعطىعاجلا). Maksudnya, salam adalah sebuah akad atas suatu benda yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan dengan imbalan yang dilakukan saat itu juga.
Dalam definisi ini tidak ada ketentuan bahwa barang itu harus diserahkan kemudian atau saat itu juga. Hal inilah yang membedakan definisi mazhab Asy-Syafi'i ini dengan kedua mazhab sebelumnya.
2.3. Pendapat Ketiga
Sedangkan pendapat yang ketiga ini mensyaratkan barangnya diserahkan kemudian, bukan saat akad, sedangkan uangnya tidak disyaratkan harus diserahkan saat itu juga. Jadi intinya uang pembayarannya boleh diserahkan saat akad itu dilangsungkan atau pun boleh juga diserahkan kemudian.
Pendapat ketiga ini dikemukakan oleh Mazhab Maliki sebagaimana tertera dalam kitab Idhahul Masalik Ila Al-Qawa'id Al-Imam Malik. Dalam kitab itu sebutkan bahwa
بيعمعلومفيالذمةمحصوربالصفةبعينحاضرةأوماهوفيحكمهاإلىأجلمعلوم
Jual-beli barang yang diketahui dalam tanggungan yang sifatnya ditentukan, dengan pembayaran yang hadir (saat itu juga) atau dengan pembayaran yang berada dalam hukumnya, hingga waktu yang diketahui.
Penyebutan kalimat : dengan pembayaran yang berada dalam hukumnya, mengisyaratkan tidak diharuskannya pembayaran itu dilakukan saat akad, tetapi dibenarkan bila diserahkan 2 atau 3 hari kemudian setelah akad berlangsung.
Dan penyebutan kalimat : hingga waktu yang diketahui, mengisyaratkan keharus penyerahan barangnya bukan saat akad tetapi diserahkan di kemudian hari.
3. Masyru'iyah
Akad salam ditetapkan kebolehannya di dalam Al-Quran, As-Sunnah dan juga ijma'.
3.1. Al-Quran
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواْإِذَاتَدَايَنتُمبِدَيْنٍإِلَىأَجَلٍمُّسَمًّىفَاكْتُبُوهُ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya (QS. Al-Baqarah : 282)
قالابنعباس : أشهدأنالسلفالمضمونإلىأجلمسمىقدأحلاللهفيكتابهوأذنفيهثمقرأهذهالآية (أخرجهالشافعيفيمسنده)
Ibnu Al-Abbas berkata, Aku bersaksi bahwa akad salaf (salam) yang ditanggung hingga waktu yang ditentukan telah dihalalkan Allah dalam Kitab-Nya dan Dia telah mengizinkannya. Kemudian beliau membaca ayat ini. (HR Asy-Syafi'i dalam musnadnya)
3.2. As-Sunnah
Sedangkan dalam As-Sunnah An-Nabawiyah, dalil dengan salam ini disebutkan dalam hadits riwayat Ibnu Abbas RA.
عَنِاِبْنِعَبَّاسٍرَضِيَاَللَّهُعَنْهُمَاقَالَ: قَدِمَاَلنَّبِيُّصاَلْمَدِينَةَوَهُمْيُسْلِفُونَفِياَلثِّمَارِاَلسَّنَةَوَالسَّنَتَيْنِفَقَالَ: مَنْأَسْلَفَفِيتَمْرٍفَلْيُسْلِفْفِيكَيْلٍمَعْلُومٍوَوَزْنٍمَعْلُومٍإِلَىأَجَلٍمَعْلُومٍ - مُتَّفَقٌعَلَيْه
“Ibnu Abbas RA berkata bahwa ketika Nabi SAW baru tiba di Madinah, orang-orang madinah biasa meminjamkan buah kurma satu tahun dan dua tahun. Maka Nabi SAW bersabda,"Siapa yang meminjamkan buah kurma maka harus meminjamkan dengan timbangan yang tertentu dan sampai pada masa yang tertentu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
وَعَنْعَبْدِاَلرَّحْمَنِبْنِأَبْزَى،وَعَبْدِاَللَّهِبْنِأَبِيأَوْفَىرَضِيَاَللَّهُعَنْهُمَاقَالا: كُنَّانُصِيبُاَلْمَغَانِمَمَعَرَسُولِاَللَّهِصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَِسَلَّمَوَكَانَيَأْتِينَاأَنْبَاطٌمِنْأَنْبَاطِاَلشَّامِفَنُسْلِفُهُمْفِياَلْحِنْطَةِوَالشَّعِيرِوَالزَّبِيبِوَفِيرِوَايَةٍ: وَالزَّيْتِإِلَىأَجَلٍمُسَمًّىقِيلَ: أَكَانَلَهُمْزَرْعٌ؟قَالا: مَاكُنَّانَسْأَلُهُمْعَنْذَلِكَ - رَوَاهُاَلْبُخَارِيُّ
Abdurrahman bin Abza dan Abdullah bin Auf RA keduanya mengatakan,"Kami biasa mendapat ghanimah bersama Rasulullah SAW. Datang orang-orang dari negeri syam. Lalu kami pinjamkan kepada mereka untuk dibayar gandum atau sya’ir atau kismis dan minyak sampai kepada masa yang telah tertentu. Ketika ditanyakan kepada kami,"Apakah mereka itu mempunyai tanaman?”. Jawab kedua sahabat ini,"Tidak kami tanyakan kepada mereka tentang itu”. (HR Bukhari dan Muslim)
3.3. Ijma'
Ibnu Al-Munzir menyebutkan bahwa semua orang yang kami kenal sebagai ahli ilmu telah bersepakat bahwa akad salam itu merupakan akad yang dibolehkan.
4. Manfaat Akad Salam
Bai’us Salam ini dibutuhkan oleh banyak kalangan, misalnya orang-orang yang memiliki kemampuan dan keterampilan namun mereka tidak miliki modal yang cukup untuk menjalankan apa yang menjadi obsesinya. Atau orang punya ide kreatif dan mampu memproduksi dari apa yang menjadi ide tersebut namun tidak punya kemampuan untuk memproduksinya karena masalah dana. Bisa juga seorang pengembang yang punya konsep bagus akan perumahan yang dibangunnya dengan konsep tersebut dijualah rumah sebelum bangunan rumahnya jadi. Dan masih banyak lagi yang sejenis dengan hal tersebut.
Di dalam akad salam ada hikmah dan manfaat yang besar, di mana kebutuhan manusia dalam bermuamalat seringkali tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan atas akad ini. Kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli bisa sama-sama mendapatkan keuntungan dan manfaat dengan menggunakan akad salam.
Pembeli bisa mendapatkan keuntungan berupa:
• Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan.
• Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian pada saat ia membutuhkan kepada barang tersebut.
Penjual bisa mendapatkan keuntungan, diantaranya:
• Penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga. Dengan demikian selama belum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun.
• Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama.
• Tidak perlu upaya dan mengeluarkan biaya tambahan untuk menghabiskan produk, karena telah dibeli sebelumnya.
5. Contoh Akad Salam
Secara ilustrasi, akad salam ini bisa digambarkan semisal seorang pedagang atau broker yang tidak punya modal uang segar. Untuk dapat menjual barang, dia tidak punya uang sebagai modal untuk membeli barang itu dari sumbernya, padahal barang itu tidak bisa dibeli kecuali dengan cara tunai. Di sisi lain pedagang ini pandai mendapatkan order permintaan dari calon pembelinya. Maka dia bisa melakukan akad salam yang halal dengan calon pembelinya itu.
Dalam hal ini, calon pembeli membeli barang dari si pedagang dengan spesifikasi yang telah disepakati, juga dengan harga yang disepakati pula, namun uangnya langsung dibayarkan. Dengan uang pembayaran yang sudah diserahkan itulah di pedagang bisa membeli barang yang diinginkan, tentunya dia mendapatkan dengan harga di bawah dari harga jual.
Cara ini halal dan berbeda dengan keharaman menjual barang yang belum menjadi milik dengan beberapa alasan. Antara lain misalnya :
• Menjual barang yang bukan miliknya itu haram karena boleh jadi barang yang bukan miliknya itu sudah diserahkan kepada pembeli. Berbeda dengan salam yang barangnya memang belum diserahkan dan menjadi hutang bagi si penjual.
• Menjual barang yang belum menjadi milik itu haram lantaran tidak ada jaminan bagi si penjual untuk bisa mendapatkan barang itu untuk diserahkan kepada pembelinya.
• Dalam akad salam, barang yang dijual tidak harus barang tertentu yang dimaksud. Misalnya, yang dijual tidak harus berupa seekor sapi tertentu milik Tardjo yang namanya si Gomes. Tetapi bisa saja sapi lain bukan bernama Gomes, asalkan yang memenuhi spesifikasi yang disepakati (yang ciri-cirinya seperti Gomes).
Contoh lain misalnya seorang petani yang membutuhkan modal untuk menanam. Dia butuh bibit, pupuk, obat hama dan biaya lainnya. Dengan akad salam ini, dia bisa menjual hasil panennya sebelum dia menanam.
Dalam akad salam, penjual tidak menjual ain suatu barang tertentu yang sudah ditetapkan, melainkan yang dijual adalah barang dengan spesifikasi tertentu.
Sebagai contoh, seorang pedagang material bangunan menjual secara salam 10 kantung semen dengan merek tertentu dan berat tertentu kepada seorang pelanggan. Kesepakatannya pembayaran dilakukuan saat ini juga, namun penyerahan semennya baru 2 bulan kemudian, terhitung sejak akad itu disepakati.
Walaupun saat itu mungkin saja si pedagang punya 10 kantung semen yang dimaksud di gudangnya, namun dalam akad salam, bukan berarti yang harus diserahkan adalah 10 kantung itu. Pedagang itu boleh saja dia menjual ke-10 kantung itu saat ini ke pembeli lain, asalkan nanti pada saat jatuh tempo 2 bulan kemudian, dia sanggup menyerahkan 10 kantung semen sesuai kesepakatan.
Sebab yang dijual bukan ke-10 kantung yang tersedia di gudang, tapi yang dijual adalah 10 kantung yang lain, yang mana saja, asalkan sesuai spesifikasi.
7.2.2. Barang Jelas Spesifikasinya
Barang yang dipesan harus dijelaskan spesifikasinya, baik kualitas mau pun juga kuantitas. Termasuk misalnya jenis, macam, warna, ukuran, dan spesifikasi lain. Pendeknya, setiap kriteria yang diinginkan harus ditetapkan dan dipahami oleh kedua-belah pihak, seakan-akan barang yang dimaksud ada di hadapan mereka berdua.
Dengan demikian, ketika penyerahan barang itu dijamin 100% tidak terjadi komplain dari kedua belah pihak.
Sedangkan barang yang tidak ditentukan kriterianya, tidak boleh diperjual-belikan dengan cara salam, karena akad itu termasuk akad gharar (untung-untungan) yang nyata-nyata dilarang dalam hadits berikut:
أنَّالنبيصنهىعنبيعالغرر- رواهمسلم
Nabi SAW melarang jual-beli untung-untungan." (HR Muslim)
7.2.3. Barang Tidak Diserahkan Saat Akad
Apabila barang itu diserahkan tunai, maka tujuan utama dari salam malah tidak tercapai, yaitu untuk memberikan keleluasan kepada penjual untuk bekerja mendapatkan barang itu dalam tempo waktu tertentu.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :
مَنْأَسْلَفَفِيتَمْرٍفَلْيُسْلِفْفِيكَيْلٍمَعْلُومٍوَوَزْنٍمَعْلُومٍإِلَىأَجَلٍمَعْلُومٍ - مُتَّفَقٌعَلَيْه
“Siapa yang meminjamkan buah kurma maka harus meminjamkan dengan timbangan yang tertentu dan sampai pada masa yang tertentu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Al-Qadhi Ibnu Abdil Wahhab mengatakan bahwa salam itu adalah salaf, dimana akad itu memang sejak awal ditetapkan untuk pembayaran di awal dengan penyerahan barang belakangan.
Batas Minimal Penyerahan Barang
• Al-Karkhi dari Al-Hanafiyah menyebutkan minimal jatuh tempo yang disepakati adalah setengah hari dan tidak boleh kurang dari itu.
• Ibnu Abil Hakam mengatakan tidak mengapa bila jaraknya 1 hari.
• Ibnu Wahab meriwayatkan dari Malik bahwa minimal jarak penyerahan barang adalah 2 atau 3 hari sejak akad dilakukan.
• Ulama lain menyebutkan minimal batasnya adalah 3 hari, sebagai qiyas dari hukum khiyar syarat.
7.2.4. Jelas Waktu Penyerahannya
Harus ditetapkan di saat akad dilakukan tentang waktu (jatuh tempo) penyerahan barang. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW :
إلىأَجَلٍمَعْلُومٍ . متفقعليه
“Hingga waktu (jatuh tempo) yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula." (Muttafaqun 'alaih)
Para fuqaha sepakat bila dalam suatu akad salam tidak ditetapkan waktu jatuh temponya, maka akad itu batal dan tidak sah. Dan ketidak-jelasan kapan jatuh tempo penyerahan barang itu akan membawa kedua-belah pihak ke dalam pertengkaran dan penzaliman atas sesama.
Jatuh tempo bisa ditetapkan dengan tanggal, bulan, atau tahun tertentu, atau dengan jumlah hari atau minggu atau bulan terhitung sejak disepakatinya akad salam itu.
7.2.5. Dimungkinkan Untuk Diserahkan Pada Saatnya
Pada saat menjalankan akad salam, kedua belah pihak diwajibkan untuk memperhitungkan ketersedian barang pada saat jatuh tempo. Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari praktek tipu-menipu dan untung-untungan, yang keduanya nyata-nayata diharamkan dalam syari'at Islam.
Misalnya seseorang memesan buah musiman seperti durian atau mangga dengan perjanjian: "Barang harus diadakan pada selain waktu musim buah durian dan mangga", maka pemesanan seperti ini tidak dibenarkan. Selain mengandung unsur gharar (untung-untungan), akad semacam ini juga akan menyusahkan salah satu pihak. Padahal diantara prinsip dasar perniagaan dalam islam ialah "memudahkan", sebagaimana disebutkan pada hadits berikut:
لاضَرَرَولاضِرَار. رواهاحمدوابنماجةوحسنهالألباني.
“Tidak ada kemadharatan atau pembalasan kemadhorotan dengan yang lebih besar dari perbuatan” (Riwayat Ahmad, Ibhnu Majah dan dihasankan oleh Al Albany)
Ditambah lagi pengabaian syarat tersedianya barang di pasaran pada saat jatuh tempo akan memancing terjadinya percekcokan dan perselisihan yang tercela. Padahal setiap perniagaan yang rentan menimbulkan percekcokan antara penjual dan pembeli pasti dilarang.
7.2.6. Jelas Tempat Penyerahannya
Yang dimaksud dengan barang yang terjamin adalah barang yang dipesan tidak ditentukan selain kriterianya. Adapun pengadaannya, maka diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha, sehingga ia memiliki kebebasan dalam hal tersebut. Pengusaha berhak untuk mendatangkan barang dari ladang atau persedian yang telah ada, atau dengan membelinya dari orang lain.
Persyaratan ini bertujuan untuk menghindarkan akad salam dari unsur gharar (untung-untungan), sebab bisa saja kelak ketika jatuh tempo, pengusaha –dikarenakan suatu hal- tidak bisa mendatangkan barang dari ladangnya, atau dari perusahaannya.
留言